Rabu, 11 Mei 2011

MASIH ADAKAH HAM DI “REPUBLIK MIMPI” ??

Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.
Sesuai Pasal 28 I ayat (5), dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hokum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi yang ringan.
Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik. Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Demikian juga untuk tujuan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dilihat dari kejadian-kejadian belakangan ini, Hak Asasi Manusia sudah sulit diberlakukan dalam kehidupan masyarakat madani. Padahal menurut undang-undang setiap warga Negara memiliki hak asasi manusia yang sama. Jika kita masuk dalam pemerintahan Indonesia, yang dimana dalam bahasa Yunani artinya Negara Kepulauan, Hak Asasi Manusia dalam setiap pulau masih kurang diperhatikan.
Berbicara tentang hak asasi manusia, pasti kita akan difokuskan pada lembaga yang dibuat pemerintah untuk meminta perlindungan pokok pada setiap individu di Indonesia.
Contoh pada kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Terlihat jelas bahwa pemerintahan kita lamban dalam mengatasi masalah tersebut dan tidak menghargai hak asasi manusia. Meskipun ilmuan dari rusia mengatakan bahwa bencana itu diakibatkan karena gempa bumi. Tapi tidak seharusnya masyarakat yang tinggal di kawasan industry Lapindo itu harus menerima imbasnya. Masyarakat berhak meminta ganti rugi terhadapa kejadian itu. Tapi yang terlihat, mereka masih saja mengungsi di pengunsian yang di sediakan pemerintah. Sudah jelas dalam setahun belakangan ini, masalah ini belum juga terselesaikan.
Akibatnya, masyarakat kehilangan lahan pekerjaannya, terserang berbagai penyakit, sampai tidak bisa menikmati kehidupan yang layak. Anak-anak tidak dapat bermain seperti halnya sebelum bencana itu terjadi. Bagaimana pemerintah menyikapi hal tersebut dan kemana “mereka”?.
Sedangkan pemerintah hanya gencar mengobral suara dalam kampanyenya dan lupa setelah mereka mendapat tahta dalam pemerintahan. Apakah seperti itu pemerintahan yang diinginkan masyarakat Indonesia? Padahal dalam undang-undang dasar bab XA pasal 28 I ayat 4 yang berisi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama PEMERINTAH”.
Jadi masih adakah HAM di Negara ini ??????

Neraka Rezim Soeharto

Bagi yang mengenal kekejaman rezim Orba, apalagi bagi mereka yang pernah menjadi tapol Orba, dari sebagian daftar isinya dapat membayangkan apa kira-kira kisah di dalamnya: Bab I Rumah Setan di Gunung Sahari; Bab II Rumah Hantu di Menteng Atas; Bab III Kekejaman di Kremlin [Kramat Lima]; Bab IV Jeritan di Rumah Meester Cornelis; Bab V Horor di Gang Buntu; dst. Kedua penulis muda ini tidak sedang bercerita tentang kisah horor yang banyak muncul di televisi belakangan ini, tapi tentang kekejaman yang dialami para tapol, para terculik yang dilakukan rezim militer Orba Suharto sejak 1965 sampai 1998, bagian dari sejarah kelam horor.
Rumah Setan di Gunung Sahari terletak di Gunungsahari III, sebuah rumah besar milik seorang Tionghoa yang dirampas dan dijadikan markas Operasi Kalong setelah tragedi 1 Oktober 1965. Operasi di bawah Mayor Suroso ini pula yang berhasil menangkap orang keempat PKI Sudisman karena pengkhianatan kawan dekat dan pembantunya. Algojo yang bernama Letnan Bob tersohor kekejamannya, setiap tapol di Jakarta gemetar jika dibon olehnya ke markas Kalong. Alat penyiksa standar berupa pentungan kayu dan karet, buntut ikan pari yang dipasangi paku kecil, kabel dengan lempeng-lempeng yang dialiri listrik. Setiap tapol baru dikejutkan dan dihancurkan mentalnya dengan siksaan alat-alat tersebut, apapun yang diakuinya. Sengatan listrik merupakan ujung kekuatan seorang pesakitan berakhir. Setiap tapol perempuan diperiksa dengan telanjang bulat, demikian juga dengan interogatornya.
Di Kalong tersohor pula legenda seorang aktivis Gerwani bernama Sri Ambar yang tetap bungkam meski telah disiksa dengan gebukan, setruman, kemudian digantung telanjang bulat di pohon mangga. Bokongnya kemudian ditusuk bayonet oleh seorang tentara penyiksa. Siksaan berlanjut dengan didatangkannya ibu dan dua orang anaknya yang masih kecil (ketiganya juga ditahan) untuk menyaksikannya.
Seorang pemuda tapol yang kuat badannya berumur sekitar 30 tahun disiksa habis-habisan dengan gebukan dan sengatan listrik di markas Zinpur 8. Ia juga digantung selama seminggu di Lenteng Agung, banyak bagian badannya mengucurkan darah karena diiris silet. Luka itu kemudian disiram bensin. Ia pun menjadi sasaran latihan lemparan pisau komando. Pada suatu malam badannya ditembus tiga peluru, karena keterangannya masih diperlukan, ia dibawa ke RSPAD Gatot Subroto dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 10 liter. Dalam keadaan masih sakit, ia berkali-kali diinterogasi, bahkan dengan disetrum. Ia kemudian dilemparkan ke sel Kodim 0505 Jatinegara, salah satu tempat penyiksaan tapol. Dalam sel 5x6 meter itu ia berjubel bersama 200 tapol lainnya.
Di bagian akhir terdapat kesaksian sejumlah aktivis muda dan mahasiswa, di antaranya dari PRD. Seperti kita ketahui sejumlah aktivis diculik rezim Suharto pada pertengahan pertama 1998 sebelum diktator militer itu jatuh. Sejumlah aktivis setelah diculik, semula berada di instansi militer resmi seperti Kodim Jakarta Timur, disiksa dan diinterogasi di instansi militer [rahasia] dalam keadaan mata terus ditutup. Tiba-tiba mereka sudah dibawa ke Polda Metro Jaya. Sejumlah aktivis kemudia n dibebaskan dalam bulan Juni 1998 setelah tumbangnya sang diktator.
Seperti kita ketahui masih ada 13 orang aktivis yang diculik oleh instansi yang sama di masa itu tidak pernah kembali, di antaranya aktivis buruh sekaligus penyair, Wiji Thukul dengan seruannya yang tersohor: HANYA ADA SATU KATA: LAWAN! Ketika itu seorang petinggi militer, Jenderal Syarwan Hamid yang amat ditakuti karena jabatannya, menyatakan bahwa Wiji Thukul telah menantang pemerintah. Rupanya rezim militer yang perkasa itu takut juga dengan seorang penyair miskin kerempeng.
Instansi militer penculik [rahasia] yang terang identitasnya di mata beberapa Kodim dan Polda Metro Jaya sampai saat ini belum diusut. Di mana 13 pemuda bibit bangsa itu telah dibunuh dan dikubur? Adakah HAM hanya untuk kaum koruptor dan tersangka koruptor serta Jenderal Besar (Purn) Suharto, dan tidak untuk para [bekas] tapol dan aktivis yang melawan kediktatoran rezim militer Orba?

Jack The Ripper

Jack sang Pencabik adalah julukan untuk tokoh misterius yang melakukan serangkaian pembunuhan berantai dan mutilasi di Inggris pada abad 19.
Pada 31 Agustus 1888 lewat tengah malam, di distrik East End di kota London, Inggris yang dikenal dengan nama Whitechapel (daerah lampu merah di London) pernah dihebohkan dengan aksi pembunuhan berantai sadis terhadap sejumlah wanita tuna susila. Identitas pelaku pembunuhan hingga kini tidak berhasil diungkap. Polisi hanya tahu bahwa sang pembunuh menjuluki dirinya "Jack the Ripper".
Jack The Ripper tidak meninggalkan bukti satu pun dalam tindakan kriminalnya, pola pembunuhannya pun tidak diketahui, bahkan bisa dibilang acak. Satu-satunya persamaan antara korban-korbannya ialah bahwa mereka adalah wanita tuna susila.
Jack The Ripper membunuh korban-korbannya tanpa ampun. Setelah memotong leher korbannya, kemudian Jack The Ripper memutilasi mereka. Bagaikan bayangan di malam hari, tidak ada seorangpun yang dapat menguak siapakah Jack The Ripper sebenarnya. Walaupun Jack The Ripper "hanya" beraksi lebih kurang satu tahun, korbannya sangat banyak dan telah menjadi legenda sampai sekarang.
Ada juga dugaan kalau pelaku adalah seorang dokter atau setidaknya orang yang mempunyai latar belakang pendidikan kedokteran spesialisasi di bidang operasi bedah karena sayatan-sayatan di tubuh korbannya sangat rapi yang hanya bisa dilakukan menggunakan alat-alat operasi kedokteran yang membutuhkan keahlian khusus.
Identitas Jack the Ripper sampai hari ini masih merupakan misteri; para spekulan memprediksi bahwa Jack the Ripper telah menyebrangi Laut Atlantik dan bermukim di AS setelah pembunuhan-pembunuhan tersebut.
Jack sang Pencabik adalah julukan untuk tokoh misterius yang melakukan serangkaian pembunuhan berantai dan mutilasi di Inggris pada abad 19.
Pada 31 Agustus 1888 lewat tengah malam, di distrik East End di kota London, Inggris yang dikenal dengan nama Whitechapel (daerah lampu merah di London) pernah dihebohkan dengan aksi pembunuhan berantai sadis terhadap sejumlah wanita tuna susila. Identitas pelaku pembunuhan hingga kini tidak berhasil diungkap. Polisi hanya tahu bahwa sang pembunuh menjuluki dirinya "Jack the Ripper".
Jack The Ripper tidak meninggalkan bukti satu pun dalam tindakan kriminalnya, pola pembunuhannya pun tidak diketahui, bahkan bisa dibilang acak. Satu-satunya persamaan antara korban-korbannya ialah bahwa mereka adalah wanita tuna susila.
Jack The Ripper membunuh korban-korbannya tanpa ampun. Setelah memotong leher korbannya, kemudian Jack The Ripper memutilasi mereka. Bagaikan bayangan di malam hari, tidak ada seorangpun yang dapat menguak siapakah Jack The Ripper sebenarnya. Walaupun Jack The Ripper "hanya" beraksi lebih kurang satu tahun, korbannya sangat banyak dan telah menjadi legenda sampai sekarang.
Ada juga dugaan kalau pelaku adalah seorang dokter atau setidaknya orang yang mempunyai latar belakang pendidikan kedokteran spesialisasi di bidang operasi bedah karena sayatan-sayatan di tubuh korbannya sangat rapi yang hanya bisa dilakukan menggunakan alat-alat operasi kedokteran yang membutuhkan keahlian khusus.
Identitas Jack the Ripper sampai hari ini masih merupakan misteri; para spekulan memprediksi bahwa Jack the Ripper telah menyebrangi Laut Atlantik dan bermukim di AS setelah pembunuhan-pembunuhan tersebut.